Ilusi Fatamorgana, berjalan beriringan terasa angkuh untuk mendekap erat bias cahaya.
Terasa ada, namun tak nampak wujudnya, ingin berbicara namun hanya
bisikan sederhana yang ada.
Alunan air menyapa fajar, beriringan dengan datangnya matahari, menolak
bulan ke tempat lain.
Di balik senyuman fajar yang mengawang, mengiringi aliran jingga
merangkak naik. Membuktikan dan membenarkan setapak langkah yang memulai.
Berada di waktu fajar bukan cara terbaik untuk meninggalkan. Tapi berada
di waktu fajar adalah menjadi awal sebuah kebiasaan.
Kebiasaan baik, dengan cara yang baik, berakhir pun dengan keadaan
baik. Itu hanyalah keinginan! Sebelum berakhir pada kenyataan.
Ilusi Fatamorgana, seakan datang membawa bunga indah bermekaran,
namun hanya setangkai daun gersang yang datang.
Tak ada cara, selain hanya berpura-pura, kembali pada awal langkah
adalah cara untuk mengenang memori kelam yang sempat tenggelam.
Meskipun demikian, ia akan mengajak fajar untuk kembali bercengkerama
seperti sedia kala.
Berbagi cerita, lalu mengubah makna, dan hilang dengan sendirinya.
Tidak bertemu lama, tapi berjanji untuk kembali lagi di kemudian
harinya.
Aku terima, karena aku rasa, kau seperti sebuah Ilusi Fatamorgana, bernada
namun tak tampak di depan mata.
Fajar menyingsing, seakan memberi kabar kalau sinar matahari akan
terbentang luas, berjalan melintas, lalu redup terkena bias.
Komentar
Posting Komentar